Kebudayaan
Provinsi Bali
A. Bahasa
Bali
Bahasa
Bali adalah wahana budaya vocal masyarakat Bali, bahasa perolehan pertama
(bahasa ibu) masyarakat Bali. Bahasa itu juga salah satu unsur budaya nasional
bangsa Indonesia. Bagi rakyat Bali selain berfungsi sebagai alat komunikasi
vocal, juga berfungsi sebagai penunjuk identitas rakyat Bali. Penutur bahasa
Bali adalah masyarakat Bali dengan perkiraan jumlah tiga juta orang. Mereka
berdiam terutama di wilayah Provinsi Bali. Di bebrapa wilayah Indonesia di luar
Provinsi Bali, penutur bahasa Bali terdapat pula di Lombok Barat, di beberapa
tempat transmigran orang Bali di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawam
dan Timor Timur. Penutur bahasa Bali umumnya penganut agama Hindu seperti yang
dianut oleh masyarakat penutur bahasa Bali di wilayah Bali pada umumnya.
Bahasa Bali sangat menarik sejumlah
peneliti, baik peneliti asing, maupun peneliti bangsa Indonesia. Peneliti
bangsa Indonesia terutama peneliti penutur bahasa Bali yang umumnya berdomisili
di Bali.
Struktur
bahasa Bali yang menyangkut system fonologi, morfologi, dan sintakis sudah
banyak diteliti oleh peneliti-peneliti, baik peneliti asing maupun peneliti
bangsa Indonesia.
Fungsi
bahasa Bali – seperti halnya fungsi-fungsi bahasa daerah yang dirumuskan dalam
polotik bahasa nasional (Halim (edit.) 1976 : 146 ) – adalah lambing kebanggaan
daerah Bali, identitas daerah Bali, pendukung bahasa nasional Indonesia, alat
penghubung dalam keluarga etnik Bali, bahasa pengantar di sekolah-sekolah dalam
kelas tertentu, dan juga alat pengembangan kebudayaan Bali. Bahasa Bali sebagai
pendukung bahada nasional Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kosa kata
bahasa Indonesia.
B. Seni
1. Seni Musik
Musik
tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah
lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik
tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam teknik memainkan dan
gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon
menirukan suara kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki
keunikan, misalnya gamelan jegog, gamelan gong gede, gamelan gambang, gamelan
selunding dan gamelan Semar Pegulingan. Ada pula musik Angklung dimainkan untuk
upacara ngaben serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai upacara lainnya.
Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong
Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan
Belanda serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an.
Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal
(metalofon), gong dan perkusi kayu (xilofon). Karena hubungan sosial, politik
dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan
pengaruh atau saling memengaruhi daerah budaya di sekitarnya, misalnya pada
musik tradisional masyarakat Banyuwangi serta musik tradisional masyarakat
Lombok. Gamelan, Jegog, Genggong dst.
2. Seni Karawitan
Di Bali
terdapat berbagai jenis perangkat/ansambel gamelan yang bila ditilik dari segi
umurnya ada yang sudah berusia ratusan tahun yang merupakan peninggalan dari
zaman kerajaan Bali dan ada pula buatan akhir-akhir ini pada abad ke-20.
Ada gambelan yang hanya mengiringi upacara
sajaa, tentu ada ansambel-ansambel yang berfungsi sebagai pengiring
tarian-tarian, baik tari lepas, tari
lakon, maupun sendratari. Sampai sekarang secara tradisi dapat diikuti bahwa
beberapa jenis gambelan mempunyai fungsi sebagai berikut.
1)
Gong Gede disamping ditabuh secara instrumental sebagai pengiring suatu
upacara agama, berfungsi pula sebagao pengirinh berbagai jenis ari baris gede
yang digolongkan tari wali (dewayadnya),
2)
Angklung untuk pengiring upacara pitrayadnya (orang meninggal, ngaben,
mukur, dan sebagainya),
3)
Gambang pada umumnya untuk mengiringi Upacara ngaben, kecuali di daerah
Karangasem yang berfungsi pula di dalam Dewayadnya,
4)
Gender Wayang dan Semara Pegulingan pada umumnya berfungsi mengiringi
upacara Manusiayadnya (ualang tahun, Potong gigi, perkawinan),
5)
Balaganjur/Paleganjur di samping berfungsi sebagai pengiring upacara
mecaru (buthayadnya) juga untuk Dewayadnya.
Melihat
fungsi-fungsi diatas, karena adanya desa, kala, patra belum dapat diambil
kesimpulan yang mana sesungguhnya yang dianggap fungsi paling tepat. Mengingat
banyaknya jenis ansambel yang ada yang hingga kini tercatat sampai 26, maka
secara hipotesis kiranya pada zaman lampau masing-masing ansambel itu mempunyai
tugas atau fungsi tertentu. Tetapi didalam sejarah perkembangannya mengalami
berbagai perubahan, mungkin disebabkan oleh langka atau punahnya suatu jenis
gambelan di suatu daerah, ehingga perlu dialih-fungsikan kepada gambelan yang
ada pada kurun waktu itu.
3. Seni Tari
Sesungguhnya
seni taridapat digolongkan ke dalam seni teater. Teater mengandung tiga unsur,
yakni penonton, tempat, pemain. Karena itu, teater meliputi seluruh seni
pertunjukan yang terdiri dari seni pentas (drama), seni tari, seni music
(karawitan) dan seni gerak lainnya. Salah satu definisi tari adalah “tari
adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang
indah” (Soedarsono, tanpa tahun :17).
Seni tari
Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok, yaitu wali atau
seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara
dan juga untuk pengunjung dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan
pengunjung. Tari-tarian masyarakat Bali ada yang bersifat tradisional ada yang
bersifat modern. Tarian tradisional misalnya tari Sanghyang, Baris, barong,
Kecak, Rejang, dan Gambuh. Sedangkan tari modern contohnya Kebyar Tarunajaya,
Kebyar Duduk, Margapati, Tambulilingan, Tenun, Nelayan, Legong, d an tari
Janger. Salah satu tarian yang sangat populer bagi para wisatawan ialah Tari
Kecak. Sekitar tahun 1930-an, Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman
Walter Spies menciptakan tari ini berdasarkan tradisi Sanghyang.
Terdapat
beberapa jenis tari yang mempunyai fungsi tertentu, yaitu sebagai berikut ;
1.
Pendet : berfungsi sebagai tari penyambutan yang ditunjukan kepada bhatara-bhatari yang turun ke mrcapada
(dunia) dalam suatu upacara atau manyembrama (menerima) kedatangan-Nya dari
Melasti (menyucikan pralingga).
2.
Rejang : berfungsi sebagai symbol bidadari yang turun ke dunia menuntun
bhatara waktu melasti atau tedun ke peselang (turun ke temapat upacara), oleh
karena itu maka penari-penari-nya terdiri dari gadis-gadis yang belum kawin
(Putra, tanpa tahun : 9 ). Di Bali Utara desa Bungkulan, rejang-renteng
(bergandengan dengan benang) berfungsi sebagai tari penyambutan terhadap dewi
Cri sebagai pernyataan bersyukur karena berhasilnya panen padi.
C. Pakaian
Pakaian
daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi, meskipun secara selintas
kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali mempunyai ciri khas simbolik
dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya.
Status sosial dan ekonomi seseorang dapat diketahui berdasarkan corak busana
dan ornamen perhiasan yang dipakainya.
Pria,
Busana tradisional pria umumnya terdiri dari: Udeng (ikat kepala), Kain kampuh
Umpal (selendang pengikat) ,Kain wastra (kemben), Sabuk Keris Beragam ornamen
perhiasan, Sering pula dikenakan baju
kemeja, jas dan alas kaki sebagai pelengkap.
Wanita,
Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari: Gelung (sanggul), Sesenteng
(kemben songket), Kain wastra Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada Selendang
songket bahu ke bawah Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam Beragam ornamen
perhiasan Sering pula dikenakan kebaya, kain penutup dada, dan alas kaki
sebagai pelengkap.
D. Sistem
Kekerabatan (Perkawinan)
Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan
kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah
mempelai pria, karena masyarakat
Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam
pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan
tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. hal ini berbeda
dengan adat pernikahan jawa yang semua proses
pernikahannya dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan
diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar
bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara pernikahan.
Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut:
- Upacara Ngekeb
Acara ini bertujuan untuk
mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang
istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka
diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh
tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak,
kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga
disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain
itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas
selesai, pernikahan adat bali akan
dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu
telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin
wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang
menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh
tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar
kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia
mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan
baru bersama pasangan hidupnya.
- Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas
mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil
diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut
adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput
pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
- Upacara Mesegehagung
Sesampainya kedua pengantin di
pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap
melakukan upacara Mesegehagungyang tak lain bermakna sebagai
ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi
menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut
dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya
akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakanyang
ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng.
- Madengen–dengen
Upacara ini bertujuan untuk
membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam
diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian.
- Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran
pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh
seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk
meningkatkan pembersihan diri
pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara
sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat
pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh
seorang pemangku merajan.
- Mejauman Ngabe Tipat Bantal
Beberapa hari setelah pengantin resmi
menjadi pasangan suami istri,
maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut
mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk
melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit
kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada
para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian
dalam keluarga besar suaminya. Untukupacara pamitan ini keluarga
pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai
panganan kue khas Bali seperti
kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi,
the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.
E. Upacara
Adat
Upacara 3 Bulanan dan Otonan
Tujuan UPACARA TIGA BULANAN sudah saya jelaskan. Yang mungkin perlu dijelaskan
lebih lengkap adalah urutan upacara dan symbol (niyasa) yang digunakan.
Urutan upacara :
1) ayah
dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.
2) Nyama
bajang dan kandapat "diundang" untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan
terima kasih karena telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir
dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi
atas kelahiran bayi.
3) Si
Bayi natab banten bajang colong artinya menerima lungsuran (prasadam) dari
"kakaknya" yaitu kandapat (plasenta : ari-ari, getih, lamas,
yeh-nyom)
4) si
Bayi "mepetik" (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut
"kotor" yang dibawa sejak lahir).
5) Si
Bayi "mapag rare" (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan,
memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah didepan Kemulan.
6) Si
Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara yaitu manifestasi Hyang Widhi
yang menjaga bayi.
7) Si
Bayi "mejaya-jaya" dari Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta.
Symbol
(niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan : Regek yaitu anyaman 108
helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai symbol Nyama Bajang; Papah
yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai symbol ari-ari, Pusuh yaitu
jantung pisang sebagai symbol getih (darah), Batu sebagai symbol yeh-nyom,
Blego sebagai symbol lamas, ayam sebagai symbol atma, sebuah periuk tanah yang
pecah sebagai symbol kandungan yang sudah melahirkan bayi, lesung batu sebagai
symbol kekuatan Wisnu, pane symbol Windu (Hyang Widhi), air dalam pane symbol
akasa, tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit (anak tangga)
tiga buah dari kayu dapdap symbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi
panugrahan kepada suami-istri).
Upacara
otonan lebih sederhana dari tiga bulanan, karena tujuannya mengucapkan syukur
kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang umur, serta mohon keselamatan
dan kesejahteraan.
Yang
diragukan oleh ortu anda, mungkin masalah tirta dari Sanggah Pamerajan ketika
upacaranya di Jakarta. Jika upacara di Jakarta sudah seperti diatas, atau
mendekati seperti itu, sudah cukup. Nanti di Bali dibuatkan tataban di Sanggah
pamerajan yang dinamakan upacara "mapinton" yaitu memperkenalkan dan
melaporkan kelahiran si bayi kepada roh leluhur yang distanakan di Sanggah
Pamerajan. Namun jika ortu berkeras juga mau mengadakan upacara tiga bulanan
dan otonan, sebaiknya turuti saja, karena beliau mungkin ingin mencurahkan
kasih sayangnya kepada cucunya. Nah dengan demikian anda kan juga berbhakti
kepada ortu dan membuat beliau senang, asal saja biayanya terjangkau.
·
Upacara Adat Kematian
Tata cara menurut Upacara Agama Hindu
dan Tata Cara Nasional.
Tata Cara Menurut Agama Hindu.
Perawatan Jenazah :
Terlebih
dahulu jenazah harus dimandikan dengan air tawar yang bersih dan sedapat
mungkin dicampur dengan wangi- wangian.
Setelah
itu diberi secarik kain putih untuk menutupi bagian muka wajah dan bagian alat
kelaminnya.
Kemudian
barulah diberi pesalin dengan kain atau baju yang baru (bersih), rambutnya
dirapikan (perempuan : rambutnya digulung sesuai dengan arah jarum jam), posisi
tangan dengan sikap "menyembah" ke bawah. Setelah itu dibungkus
dengan kain putih.
Pada saat
membungkus jenazah tersebut supaya diperhatikan hal- hal sebagai berikut :
Bila
jenazah itu laki- laki maka lipatan kainnya: yang kanan menutupi yang kiri, dan
bila perempuan maka lipatan kainnya: yang kiri menutupi yang kanan. Setelah
terbungkus rapi ikatlah bagian ujung (kepala dan kaki) serta bagian tengah
jenazah yang bersangkutan dengan benang atau sobekan kain pembungkus tadi.
Setelah selesai perawatan di atas, barulah jenazah tersebut disemayamkan di
tempat yang telah ditetapkan.
Tata Cara Pelaksanaan Upacara
Tata cara
upacara yang mungkin dapat dilaksanakan adalah upacara darurat yang dalam hal
ini harus dipimpin oleh seseorang yang beragama Hindu yang ada dalam kapal/
tempat tersebut yaitu :
Paling
tidak ada sebuah "punjung" atau hidangan yang materinya terdiri dari:
sepiring nasi dilengkapi, dengan. lauk pauk seadanya, air minum, air wijikan,
rokok dan lain- lain sebagaimana santapan biasa.
Pimpinan
upacara menyuguhkan mendiang untuk menikmati punjung/ hidangan tersebut
disertai dengan ucapan bahasa sehari- hari:
Catatan:
Punjung/ hidangan disuguhkan di sebelah kanan jenazah yakni di antara leher dan
pusarnya.
Selanjutnya
pimpinan upacara mohon persaksian (sembahyang) yang kalau situasi memungkinkan
agar memakai sarana dupa (api) ke hadapan Bhatara Surya (Sang Hyang Widhi/
Tuhan) dan ke hadapan Bhatara Baruna. Akhirnya jenazah tersebut supaya
dititipkan ke hadapan ibu Pertiwi. Bila nanti oleh keluarga yang bersangkutan
berniat untuk mengabenkannya, cukup ngendag dari setra (kuburan) dan pengulapan
di marga tiga (simpang tiga).
Kemudian
tibalah saatnya menurunkan jenazah ke tengah laut yang disertai dengan pesan
seperlunya. Posisi jenazah pada saat diturunkan ke tengah laut kepalanya supaya
mengarah pada matahari terbit. Pada saat ini diikuti dengan penghormatan
terakhir oleh segenap hadirin, kalau mungkin disertai dengan taburan bunga.
F. Agama
Pulau Bali
termasuk kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia.
Luasnya adalah 5.632,86 km2, dan dihuni oleh penduduk yang berjumlah ±
2.6.31.766 jiwa. Perbandingan pemeluk agama satu dengan yang lainnyabadalah
sebagai berikut : pemeluk Agama Hindu 2.334.229 orang (96 %), Agama Islam
132.701 (2,5 %), Agama Protestan 12.609 (0,5 %), Agama Khatolik 8.405 (0,5 %),
dan Agama Budha 14.041 (0,5 %). Oleh karena penduduk Bali sbagian besar
penganut Agama Hindu maka corak masyarakat Bali terutama di pedesaan akan tampak
sangat khas.
Di Bali
dikenal satu bait sastra yang intinya digunakan sebagai slogan lambang negara
Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Manggrua, yang bermakna
'Kendati berbeda namun tetap satu jua, tiada duanya (Tuhan - Kebenaran) itu'.
Bisa dipahami jika masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk
agama lain seperti Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pandangan ini merupakan
bantahan terhadap penilaian sementara orang bahwa Agama Hindu memuja banyak
Tuhan. Kendati masyarakat Hindu di Bali menyebut Tuhan dengan berbagai nama
namun yang dituju tetaplah satu, Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.
Dewa
Brahma, Wisnu, dan Siwa, yang disebut Tri Murti, kendati terpilah tiga, namun
terkait satu jua sebagai proses lahir-hidup-mati atau utpeti-stiti-pralina.
Dewata Nawa Sanga sebagai sembilan Dewata yang menempati delapan arah mata
angin dan satu di tengah kendati terpilah sembilan lalu menjadi sebelas tatkala
terpadu dengan lapis ruang ke arah vertikal bawah-atas-tengah atau bhur-bwah-swah,
adalah satu jua sebagai kekuatan Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam semesta.
Demikian pula halnya dengan nama dan sebutan lain yang dimaksudkan secara
khusus memberikan gelar atas ke-Mahakuasa-an Tuhan.
Keyakinan
umat Hindu terhadap keberadaan Tuhan/Hyang Widhi yang Wyapi Wyapaka atau ada di
mana-mana juga di dalam diri sendiri - merupakan tuntunan yang selalu
mengingatkan keterkaitan antara karma atau perbuatan dan pahala atau akibat,
yang menuntun prilaku manusia ke arah Tri Kaya Parisudha sebagai terpadunya
manacika, wacika, dan kayika atau penyatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan
yang baik.
Umat Hindu
percaya bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Tuhan sekaligus
menjadi karunia Tuhan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan guna kelangsungan
hidup mereka. Karena itu tuntunan sastra Agama Hindu mengajarkan agar alam
semesta senantiasa dijaga kelestarian dan keharmonisannya yang dalam
pemahamannya diterjemahkan dalam filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga jalan
menuju kesempurnaan hidup, yaitu:
Hubungan
manusia dengan Tuhan; sebagai atma atau jiwa dituangkan dalam bentuk ajaran
agama yang menata pola komunikasi spiritual lewat berbagai upacara persembahan
kepada Tuhan. Karena itu dalam satu komunitas masyarakat Bali yang disebut Desa
Adat dapat dipastikan terdapat sarana Parhyangan atau Pura, disebut sebagai
Kahyangan Tiga, sebagai media dalam mewujudkan hubungan manusia dengan Ida Sang
Hyang Widhi. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya; sebagai angga atau
badan tergambar jelas pada tatanan wilayah hunian dan wilayah pendukungnya
(pertanian) yang dalam satu wilayah Desa Adat disebut sebagai Desa Pakraman.
Hubungan
manusia dengan sesama manusia; sebagai khaya atau tenaga yang dalam satu
wilayah Desa Adat disebut sebagai Krama Desa atau warga masyarakat, adalah
tenaga penggerak untuk memadukan atma dan angga.
Pelaksanaan
berbagai bentuk upcara persembahan dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa oleh umat Hindu disebut Yadnya atau pengorbanan/korban suci dalam berbagai
bentuk atas dasar nurani yang tulus. Pelaksanaan Yadnya ini pada hakekatnya
tidak terlepas dari Tri Hita Karana dengan unsur-unsur Tuhan, alam semesta, dan
manusia.
Didukung
dengan berbagai filosofi agama sebagai titik tolak ajaran tentang
ke-Mahakuasa-an Tuhan, ajaran Agama Hindu menggariskan pelaksanaan Yadnya dalam
lima bagian yang disebut Panca Yadnya, yang diurai menjadi:
1. Dewa Yadnya
Persembahan
dan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Upacara Dewa Yadnya ini umumnya
dilaksanakan di berbagai Pura, Sanggah, dan Pamerajan (tempat suci keluarga)
sesuai dengan tingkatannya. Upacara Dewa Yadnya ini lazim disebut sebagai
piodalan, aci, atau pujawali.
2. Pitra Yadnya
Penghormatan
kepada leluhur, orang tua dan keluarga yang telah meninggal, yang melahirkan, memelihara,
dan memberi warna dalam satu lingkungan kehidupan berkeluarga. Masyarakat Hindu
di Bali meyakini bahwa roh leluhur, orang tua dan keluarga yang telah
meninggal, sesuai dengan karma yang dibangun semasa hidup, akan menuju
penyatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Keluarga yang masih hiduplah
sepatutnya melaksanakan berbagai upacara agar proses dan tahap penyatuan
tersebut berlangsung dengan baik.
3. Rsi Yadnya
Persembahan
dan penghormatan kepada para bijak, pendeta, dan cerdik pandai, yang telah
menetapkan berbagai dasar ajaran Agama Hindu dan tatanan budi pekerti dalam
bertingkah laku.
4. Manusia Yadnya
Suatu
proses untuk memelihara, menghormati, dan menghargai diri sendiri beserta
keluarga inti (suami, istri, anak). Dalam perjalanan seorang manusia Bali,
terhadapnya dilakukan berbagai prosesi sejak berada dalam kandungan, lahir,
tumbuh dewasa, menikah, beranak cucu, hingga kematian menjelang. Upacara
magedong-gedongan, otonan, menek kelih, pawiwahan, hingga ngaben, adalah wujud
upacara Hindu di Bali yang termasuk dalam tingkatan Manusa Yadnya.
5. Bhuta yadnya
Prosesi
persembahan dan pemeliharaan spiritual terhadap kekuatan dan sumber daya alam
semesta. Agama Hindu menggariskan bahwa manusia dan alam semesta dibentuk dari
unsur-unsur yang sama, yaitu disebut Panca Maha Bhuta, terdiri dari Akasa
(ruang hampa), Bayu (udara), Teja (panas), Apah (zat cair), dan Pertiwi (zat
padat). Karena manusia memiliki kemampuan berpikir (idep) maka manusialah yang
wajib memelihara alam semesta termasuk mahluk hidup lainnya (binatang dan
tumbuhan).
Panca Maha
Bhuta, yang memiliki kekuatan amat besar, jika tidak dikendalikan dan tidak
dipelihara akan menimbulkan bencana terhadap kelangsungan hidup alam semesta.
Perhatian terhadap kelestarian alam inilah yang membuat upacara Bhuta Yadnya
sering dilakukan oleh umat Hindu baik secara insidentil maupun secara berkala.
Bhuta Yadnya memiliki tingkatan mulai dari upacara masegeh berupa upacara kecil
dilakukan setiap hari hingga upacara caru dan tawur agung yang dilakukan secara
berkala pada hitungan wuku (satu minggu), sasih (satu bulan), sampai pada
hitungan ratusan tahun.
G. NILAI-NILAI BUDAYA
1. Tata krama : kebiasaan sopan santun
yang di sepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya.
2. Nguopin : gotong royong.
3. Ngayah atau ngayang : kerja bakti
untuk keperluan religi.
4. Sopan santun : adat hubungan dalam
sopan pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex.
Daftar Pustaka :